PEMBANGUNAN BIROKRASI
INDONESIA TERABAIKAN
Oleh:
Asmara
Juana Suhardi, ST.,S.IP)*
Banyak
masalah kenegaraan yang tengah dihadapi bangsa Indonesia akhir-akhir ini,
tetapi yang paling krusial adalah masalah ‘perilaku birokrasi’ yang terus
mengorbankan kepentingan publik. Masalah ini sudah seharusnya menjadi agenda
kenegaraan yang mendesak untuk ditangani, karena memiliki dampak negatif jangka
panjang yang sangat fatal.
Diakui
atau tidak, dulu kita sangat bangga sebagai bangsa Indonesia, namun kini kita
mulai merasa ‘rendah diri’ ketika melihat prestasi yang diraih negara-negara
tetangga. Ketertinggalan kita diberbagai bidang, konflik sosial yang
berkepanjangan, ancaman terorisme yang
menakutkan dan sebagainya, telah membuat kita merasa malu hidup di
tengah-tengah masyarakat Internasional.
Indonesia
dianggap sebagai negara dengan banyak masalah, lubuk kemiskinan, pengangguran,
korupsi, kolusi, nepotisme, kelaparan, gizi buruk, tempat terjadinya gempa,
tsunami, banjir, tanah longsor, kecelakaan laut, darat dan udara, dan
sebagainya. Bersamaan dengan itu, semakin banyak masyarakat kita yang merespons
negatif atau menyatakan tidak puas dengan kinerja birokrasi.
Masyarakat
menunjukkan rasa tidak simpatik dengan birokrasi yang sering apatis, tidak
berpihak kepada masyarakat, lamban, kurang transparan, cenderung mengambil
keuntungan dari setiap musibah yang
melanda negari ini, kurang cerdas dalam menangani berbagai masalah, musibah dan
sebagainya. Maka tidak heran kalau birokrasi kita kurang mendapat kepercayaan, dianggap
sering membangkitkan amarah bahkan ada yang merasa ditipu. Untungnya masyarakat
kita selalu bersabar dan tidak bertindak anarkis menghadapinya.
Sementara,
dalam tubuh birokrasi Indonesia sendiri masih bersemayam banyak masalah dan
‘penyakit’ . Misalnya masalah pembagian urusan antara pemerintah pusat,
propinsi dan kabupaten/kota masih belum jelas. Akibatnya banyak Gubernur,
Bupati dan Walikota yang bingung menghadapinya. Apalagi menyaksikan kementerian/departeman
sektoral mempunyai undang-undang (UU) sendiri yang sering berseberangan dengan
undang-undang tentang pemerintah daerah (no: 32 tahun 2004).
UU
Nomor: 32 Tahun 2004, pun belum dilengkapi dengan peraturan pelaksana, sehingga
banyak masalah di daerah dibiarkan saja tanpa penyelesaian (Keban, 2008:240).
Menurut Keban, banyak propinsi dan kabupaten/kota baru yang dibentuk serta
merta tanpa kajian yang objektif, sehingga berdampak menambah beban pemerintah,
baik dalam konteks finansial maupun dalam tugas pemerintahan.
Sebagai
bangsa yang telah berkomitment untuk tetap bersatu, setia dan taat pada Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kita tidak boleh tinggal diam dan
membiarkan semua masalah tersebut menjelma menjadi bencana sosial yang
sewaktu-waktu dapat meledak. Suka atau tidak, kita harus mengakui kelemahan/kekurangan
yang telah kita lakukan selama ini dan berkomitment mencari solusi serta
memecahkan masalahnya.
Menurut
hemat saya, penyebab utama timbulnya
berbagai masalah di atas tidak lain adalah terabainya pembangunan birokrasi
di tanah air kita selama ini. Dampaknya kualitas kinerja birokrasi kita semakin
merosot, padahal birokrasi adalah pihak yang diberikan kewenangan dan
tanggungjawab dalam menjalankan roda pemerintahan guna mensejahterakan
masyarakat Indonesia.
Oleh
karena itu, untuk membenahi situasi dan kondisi kenegaraan yang kita hadapi
saat ini, maka pembangunan birokrasi harus menjadi salah satu agenda kenegaraan
yang mendesak. Apalagi dari hari ke hari, semakin banyak masalah publik yang
timbul. Kalau terus diabaikan, maka kondisi ini tidak saja akan mengorbankan
kepentingan masyarakat, namun sangat berpotensi mengancam keutuhan NKRI.
Selama
ini pembangunan birokrasi di Indonesia yang popular disebut ‘reformasi
birokrasi’ melalui program desentralisasi, deregulasi dan debirokrasi, penggabungan/penghapusan
organisasi, perbaikan sistem kepegawaian, peningkatan kemampuan birokrat,
pembenahan manajemen kauangan, informasi dan pelayanan publik dan sebagainya
belum menampakkan hasil yang signifikan dalam mengatasi masalah publik.
Contohnya,
program desentralisai yang telah dimulai sejak berlakunya UU Nomor: 5 Tahun
1974, tetapi implementasinya diabaikan begitu saja. Kemudian diberlakukan UU
Nomor: 22 Tahun 1999 yang selanjutnya dirubah dengan UU Nomor: 32 Tahun 2004,
implementasinya bahkan belum jelas, masih diabaikan. Padahal diakui bahwa
desentralisasi sangat dibutuhkan untuk meningkatkan pertumbuhan dan stabilitas
negara (Naisbitt, 2006).
Penggabungan/pembentukan
unit/organisasi baru dalam rangka peningkatan kinerja birokrasi sering
dilakukan, tetapi evaluasi apakah penggabungan atau pembentukan itu bermanfaat
atau tidak, cenderung diabaikan. Penempatan pejabat birokrasi seringkali
mengabaikan prinsip the right man on the
right place. Kajian-kajian atau rekomendasi akademik dari bebagai perguruan
tinggi dan lembaga penelitian selama ini cenderung diabaikan, dan masih banyak
contoh masalah yang lainnya.
Pertanyaannya,
mengapa keterpurukan birokrasi di Indonesia ini terus dibiarkan/diabaikan?
Apakah elite birokrasi yang ada saat ini kurang memiliki referensi akademis
untuk melakukan kajian dalam membangun birokrasi? Atau karena membagun
birokrasi merupakan hal yang tidak bergengsi, tidak menghasilkan ‘fulus’? tidak
membawa pencitraan diri dan sebagainya? Allahualambissawab!
*(Penulis: Dosen, Konsultan Media Massa & PR PusCom-Yogyakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar