Kamis, 17 Januari 2013

Artikel : Mengapa Visi Misi menjadi Jargon Kosong?


MENGAPA VISI DAN MISI MENJADI JARGON KOSONG?

Oleh :  ASMARA JUANA SUHARDI, ST., S.IP. )*

Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) 2012, terdapat 49 (empat puluh Sembilan) kabupaten/kota di 26 (dua puluh enam) Provinsi yang akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada) dalam waktu dekat ini. Selain itu, dari 115 (seratus lima belas) kabupaten/kota yang menyelenggarakan Pilkada tahun 2011, terdapat 3 (tiga) kabupaten/kota yang akan menyelanggarakan Pilkada putaran ke-2 tahun 2012 ini, yakni Kabupaten Bengkulu Tengah (Prov. Bengkulu), Kabupaten Maluku Tenggara Barat (Prov.Maluku) dan Kabupaten Jayapura (Prov. Papua), juga ada 3 (tiga) kabupaten/kota yang berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi 2010 harus menyelenggarakan Pilkada ulang tahun 2012 ini, yaitu Kabupaten Pati (Jateng), Kabupaten Buton (Sulawesi Tenggara) dan Kabupaten Kepulauan Yapen (Papua).
Ditambah lagi dengan 27 (dua puluh tujuh) kabupaten/kota di Provinsi Aceh, Papua dan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang menunda Pilkada (seharus diselenggarakan tahun 2011 lalu). Masing-masing kabupaten/kota tersebut menampilkan minimal 2 (dua)  pasangan calon (bagi Pilkada putaran ke-2), bahkan beberapa pasangan bakal calon bagi daerah yang akan menyelanggarakan Pilkada dan Pilkada ulang. Semua pasangan calon dan bakal calon tersebut tentunya menampilkan visi dan misi masing-masing untuk memenangkan kompetisi. Banyangkan, betapa banyaknya calon ‘jargon-jargon’ kosong yang akan lahir dari visi dan misi tersebut dikemudian hari.

Dilema dan Pengaruh Visi dan Misi.
Menurut hemat saya ada komentar yang menarik ketika kita memilih pemimpin. Baik pemimpin nasional, pemimpin daerah maupun pemimpin ditingkat paling bawah sekalipun, yakni seberapa bagus visi dan misi yang dibawanya untuk membangun masyarakat, sehingga seringkali dikatakan ketika memilih pemimpin maka lihatlah visi dan misi yang dibawanya. Sehingga menurut pendapat banyak orang pilihlah pemimpin yang visioner, sekarang bukan zamannya lagi memilih pemimpin yang hanya mengandalkan faktor kharismatik seperti yang terjadi pada dekade-dekade sebelumnya.
Meski kenyataannya visi dan misi terkadang hanya menjadi jargon kosong untuk memenangkan suatu kompetisi, baik itu dalam pemilihan umum (Pemilu) maupun dalam Pilkada atau apapun namanya, karena setelah pesta kompetisi selesai yang terjadi seringkali visi dan misi dilupakan, entah disimpan atau disembunyikan di mana. Padahal idealnya visi dan misi yang dibawa itu harus diterjemahkan secara berkelanjutan dalam bentuk rumusan perencanaan strategi selama masa kepemimpinannya.
Penetapan visi dan misi merupakan langkah awal dalam proses perencanaan strategi (strategic planning), karena visi dan misi memberikan arah, semangat, landasan, komitmen, keyakinan dan tujuan kearah mana organisasi itu akan dibawa. Dalam kenyataannya banyak perencanaan yang dibuat tanpa  berpatokan pada visi dan misi yang telah ditetapkan, karena visi dan misi hanya dianggap sebagai  suatu  yang tidak mungkin dicapai sehingga seringkali ditinggalkan (atau sengaja dilupakan).
 Maka tidak heran kalau terdapat sejumlah visi dan misi suatu organisasi baik organisasi swasta maupun birokrasi hanya digantung didinding seperti prasasti tanpa makna dan lama- lama akan lapuk dimakan waktu. Hal yang sama terjadi pada rumusan Pancasila dijaman orde baru yang diletakkan dibawah naungan lambang Nasional kebanggaan kita, Burung Garuda dimana pada waktu yang sama kolusi, korupsi dan nepotisme pun merajalela.
Artinya visi dan misi yang telah ditetapkan menjadi tidak efektif karena tidak memberikan kontribusi apapun dalam proses perencanaan strategis (strategic planning) yang dilakukan. Dengan kata lain ada gap (kesenjangan) dalam proses perencanaan strategis yang dilakukan. Pada kenyataannya gap ini tidak hanya terjadi pada tahap perumusan visi dan misi dengan rumusan strategis tetapi juga terjadi pada tahap selanjutnya dalam strategic planning process.
Secara umum, strategic planning process  dimulai dari perumusan visi dan misi yang ingin dicapai 5, 10 atau 25 tahun kedepan. Tahap selanjutnya merumuskan tujuan dan sasaran kemudian strategi untuk dicapai, program yang dilaksanakan dan diaplikasikan dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam rangka pencapaian program. Apabila gap terjadi pada salah satu tahap atau dalam setiap tahap pada perencanaan strategi tersebut maka dapat dipastikan organisasi apapun akan mengalami kegagalan. Gap ini dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya: perbedaan kepentingan, perencana tidak memahami keterkaitan antara tiap tahap perencanaan, serta adanya perubahan lingkungan secara cepat dan drastis.
Mengapa visi dan misi selalu tidak efektif pada organisasi termasuk organisasi pemerintah? ada beberapa sebab, yaitu :

Pertama, karena adanya kerancuan antara pengertian.
            Seringkali visi dan misi dipahami secara terbalik. Secara penulisan memang seolah-olah visi dirumuskan terlebih dahulu dari misi karena ada faktor kemudahan dalam penyebutan, namun secara konseptual sesungguhnya misi dirumuskan terlebih dahulu daripada visi.
            Secara ringkas visi adalah apa yang kita dambakan untuk kita miliki atau kita peroleh dimasa depan (what do we want to have), contohnya suatu kabupaten membangun dengan visi meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tingkat pencapaian pendapat penduduk perkapita Rp 20.000.000. (dua puluh juta rupiah) per tahun, misi yang dirumuskan adalah menjadi kabupaten dengan tingkat pendapatan penduduk perkapita tertinggi di Indonesia. Berdasarkan misi dan visi tersebut dirumuskan kebijakan strategis, program dan kegiatan yang dilakukan dengan tetap melihat pencapaian visi dan misi yang diinginkan.
            Pada tingkat personal, visi itu dekat dengan cita-cita (walaupun tidak sekedar cita-cita) dan misi itu dekat dengan panggilan hidup yaitu mengapa kita ada dan diciptakan. Pada tingkat organisasional, Peter M. Senge dalam The Fifth Dicipline memberdayakan visi dan misi sebagai berikut “……visi adalah ‘the what’ yaitu gambaran masa depan yang ingin kita ciptakan, sedangkan misi adalah ‘ the why’ yaitu alasan mengapa organisasi kita ada dan dibikin in the first place “. Jadi agar lebih efektif dan powerfull maka syarat mutlak sebuah visi dan misi haruslah  jelas, harmonis, koheren dan kompatibel.

Kedua, Visi dan Misi tidak benar-benar didambakan
            Hal ini terjadi ketika merumuskan tidak berpijak pada realitas dan kenyataan (sejarah kita, jati diri kita, produk kita, kesempatan yang ada, impian yang ada, persaingan yang ada, dsb). Contoh ketika seorang anak kecil pada musim piala dunia menginginkan menjadi seperti Ronaldo. Padahal dari segi kemampuan, bakat, budaya dilingkungannya tidak mendukung   keinginan tersebut sehingga dikatakan misi yang ingin dicapainya terlalu meng ‘awan’ sehingga dalam pencapaiannya pun adalah suatu hal yang mustahil.
            Salah seorang instruktur dalam DiklatPim III di Pusdiklat RegionalIV Bandung tahun 2009 lalu (kebetulan penulis merupakan salah satu pesertanya) pernah mengkritisi visi suatu daerah yang menyebutkan pembangunan berdasarkan ekonomi kerakyatan. Sementara konsep ekonomi kerakyatan itu sendiri menurutnya masih belum jelas bentuknya seperti apa karena masih berbentuk wacana yang ditelorkan oleh pencetusnya Adi Sasono dan konsep itu sendiri belum memberikan gambaran yang jelas seperti apa bentuk ekonomi kerakyatan yang sesungguhnya.
            Menurut saya, ekonomi di dunia ini dikembangkan berdasarkan tiga landasan ideologi yang mendasarinya yaitu Kapitalis, Komunis dan Islam. Ekonomi kapitalis pada dasarnya dikembangkan dengan prinsip bagaimana mencari keuntungan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan sendiri atau golongan  dalam bentuk ukuran materi, ekonomi Komunis dikembangkan berdasarkan prinsip semua harus merasakan benefit dari setiap kegiatan ekonomi, sedangkan ekonomi Islam lebih merupakan jalan tengah keduanya karena setiap orang berhak berupaya memenuhi kebutuhan hidupnya namun dalam setiap benefit yang diperoleh ada hak orang lain didalamnya. Lalu bagaimana dengan prinsip ekonomi kerakyatan?
            Burt Nanus dalam ‘visionary leadership’ mengatakan bahwa visi harus dimulai dari pemahaman yang benar akan realitas baik internal maupun eksternal. Dengan bahasa metaphor Tom Peters dalam “ Thriving on Chaos” mengungkapkan begini, “ visi itu berfungsi sebagai kompas dalam pelayaran yang bergelora penuh badai. Seperti halnya kompas, visi kehilangan fungsinya jika tidak memperhitungkan keadaan geografi  di sekitarnya.

Ketiga,Visi dan misi tidak mewakili penderitaan dan harapan rakyat
            Artinya visi dan misi harus mampu merefleksikan penderitaan masyakat atau target group-nya. Misalnya jika kita merasa berada di daerah yang jauh dengan daerah lain dengan fasilitas transportasi yang minim dan ini berdampak pada aktifitas perekonomian masyarakat secara keseluruhan  maka visi yang dirumuskan adalah menjadi daerah kepulauan dengan alat transportasi terlengkap. Contoh lain adalah misi yang dirumuskan oleh Soekarno pada zaman penjajahan dulu yaitu “ Indonesia Merdeka “, dengan visi yang ringkas, padat dan merefleksikan penderitaan masyarakat Indonesia saat itu maka Soekarno menjadi pemimpin buat semua.
Contoh lainnya adalah ketika Jhon F Kennedy pada tahun 1961 menggambarkan penderitaan rakyat Amerika Serikat dalam rumusan misi “ Our goal is to put a man on them moon and back safety to the earth before the end of this decade”. Misi ini merefleksikan penderitaan rakyat Amerika Serikat yang pada saat itu diakui sebagai “number one“ dalam bidang teknologi dan merupakan pemimpin dunia tetapi pada saat yang sama dipermalukan oleh Uni Sovyet yang telah berhasil meluncurkan Sputnik.
            Visi dan misi yang merefleksikan penderitaan dan harapan masyarakat akan menjadi daya penggerak yang paling besar dalam pembangunan, karena rakyat merasakan bahwa visi dan misi yang diemban sebagai milik bersama dan untuk bersama. Oleh karena itu jika suatu daerah merasakan penderitaan terbesar mereka adalah karena tidak adanya sumberdaya manusia yang berkualitas yang dapat membangun daerahnya maka misi menjadi daerah dengan sumberdaya manusia yang tangguh merupakan hal yang penting untuk dirumuskan. Hanya saja sumberdaya manusia yang tangguh sangatlah kualitatif sehingga perlu dirumuskan dalam bentuk yang lebih jelas sehingga gambaran dari misi tersebut akan menjadi jelas pula.
            Memang menarik ketika harus merumuskan visi dan misi, karena harus memberikan gambaran tujuan organisasi tetapi juga harus memberikan dorongan emosional untuk mewujudkannya. Hal ini didukung oleh pendapat Noel M. Tichy dalam “control your destiny or someone else will”, disebut ada dua buah elemen fundamental dalam perumusan visi maupun misi, yaitu :
  1. Aspek kerangka konseptual paradigmatik dimana fungsi visi dan misi sebagai peta perjalanan di lautan yang belum pernah kita tempuh.
  2. Daya tarik emosional yang berfungsi sebagai motivator yang menggerakkan daya juang.

Aspek kedua ini seringkali dilupakan dalam merumuskan visi dan misi suatu daerah. Di sinilah letak kegagalan utama visi dan misi yaitu tipisnya aspek emosional. Banyak kita temukan visi dan misi suatu daerah dirumuskan dengan kata-kata yang panjang, sehingga sulit untuk diingat apalagi untuk diresapi. Oleh karena itu hendaknya visi dan misi dirumuskan dengan kalimat yang singkat hingga mudah diingat dan dihayati.

Keempat,Visi dan misi tidak diyakini dapat dicapai
            Menurut  saya, inilah yang paling banyak dilakukan oleh daerah ketika menetapkan visi dan misi. Seringkali visi dan misi dirumuskan dengan penetapan waktu pencapaian. Misalnya visi “ menjadi “ ………… “ pada tahun”…..”. Penetapan waktu seperti itu menyebabkan aspek motivasional menjadi tidak relevan, apalagi dikaitkan dengan masa kepemimpinan kepala daerah selama 5 (lima) tahun, seharusnya visi dan misi selama lima tahun harus pula dibuat, artinya visi yang dirumuskan untuk jangka waktu 20 tahun direduksi dalam bentuk visi dan misi selama lima tahun. Sehingga arah pembangunan selama lima tahun lebih terfokus dan visi maupun misi yang dirumuskan menjadi realistis untuk dicapai. Hal lain yang menjadi alasan perlunya penetapan visi dan misi selama lima tahun adalah karena setiap terpilihnya kepala daerah baru selalu diikuti oleh visi dan misi yang baru pula.
            Meskipun ada pendapat mengatakan visi dan misi itu hanya bentuk ideal dan transedental, tetapi pada dasarnya dia tidak utopis. Artinya visi dan misi haruslah mampu memberikan keyakinan bahkan dapat menggerakkan iman kita yaitu bahwa apa yang kita perjuangkan adalah sesuatu yang sangat berharga, bermakna dan patut kita perjuangkan dengan kerja keras, pengorbanan, bahkan dengan airmata sekalipun.
Menurut Stephen R. Covey, visi dan misi yang baik mampu menciptakan kesatuan yang kokoh, menggalang komitmen yang unggul, dan menciptakan kerangka referensi, kriteria dalam bertindak, standard of excellence dan pedoman bagi hati dan pikiran orang-orang. Namun jika visi dan misi itu tidak dapat dipercaya, tidak tertulis di hati, cuma di dinding, maka visi dan misi itu pada dasarnya cuma prasasti mati yang tidak bernilai guna.
Ada tiga hal agar visi dan misi daerah itu menjadi suatu daya penggerak bagi setiap komponen masyarakat, yaitu :
  1. Visi dan misi harus selaras dan sepadan dengan sistem nilai masyarakat di daerah tersebut (shared core values). Misalnya jika karakteristik daerah ‘X’ adalah budaya melayu dengan nilai-nilai agamis yang kuat, maka visi dan misi yang dibuat hendaknya diselaraskan dengan budaya tersebut.
  2. Adanya komitmen pimpinan daerah untuk melaksanakan/mewujudkannya.
  3. Visi dan misi itu dikomunikasikan kepada seluruh aparatur pemerintah dan masyarakat sehingga menjadi penggerak utama bagi pembangunan di daerah

Melalui tiga hal di atas maka visi dan misi tidak hanya sekedar konsep yang tertata rapi di dokumen rencana strategis Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, yang mungkin hanya diketahui oleh segelintir orang dan itu pun tanpa makna dan tak berarti apa-apa.

Kelima, Visi dan misi tidak fleksibel
            Visi dan misi bukan rangkaian kata-kata baku yang tidak dapat diubah seperti halnya kitab suci. Visi dan misi bersifat dinamis tanpa kehilangan esensi ideal dan transendentalnya. Maka perumusannya pun harus up to date dan menggambarkan kemajuan kita menuju visi dan misi itu sendiri. Menarik untuk dikutip perkataan Mantan Jaksa Agung Amerika Serikat, Oliver Wendell Holmes, “yang utama bukanlah soal dimana kita berada, tapi soal arah mana yang kita tuju. Untuk mencapai pelabuhan, kadang-kadang kita harus melawan angin, yang penting kita harus terus berlayar, jangan hanyut atau sandar bersama sauh”.
            Oleh karena itu visi dan misi bisa saja diubah sesuai dengan perkembangan yang ada. Demikian pula dengan visi dan misi daerah. Namun demikian dengan perumusan visi dan misi yang idealnya selama lima tahun sesuai dengan masa kepemimpinan kepala daerah, maka selayaknya tidak berubah, karena diperkirakan selama lima tahun tidak terjadi perubahan yang fundamental, kecuali bila terjadi bencana alam seperti yang terjadi di Aceh dan Nias yang merubah struktur fisik dan struktur masyarakat secara keseluruhan.
           
Keenam, Visi dan misi tidak didukung oleh strategi dan system manajemen yang tepat
            Visi dan misi yang baik selalu tidak didukung oleh strategi pencapaian dan sistem manajemen yang ada. Misalnya: misi seorang pemimpin yang menginginkan setiap karyawan memiliki integritas dan kemampuan pengetahuan serta wawasan yang excellence. Tetapi hal ini tidak didukung dengan manajemen yang tepat misalnya tidak dibuat perencanaan pelatihan yang berkelanjutan sehingga pemimpin itu hanya akan menjadi cemooh dan tertawaan karyawannya.
            Perlu dipahami, bahwa pemimpin adalah kreator visi dan misi. Inilah tugas terberat seorang pemimpin serta ujian sesungguhnya bagi kepemimpinannya. Namun itu baru separuh  menjadi realitas, membuat impian menjadi kenyataan. Sehingga  seorang Presiden  harus memiliki visi dan misi dalam masa kepemimpinannya, begitu pula Gubernur, Bupati, Camat, Lurah, bahkan Kepala Desa sekalipun.
Menurut saya, pemimpin dizaman reformasi ini harus mampu merumuskan realita secara akurat, memilih dan mengartikulasikan visi dan misi baru secara tepat serta mampu menjawab penderitaan dan harapan rakyat dewasa ini, berusaha mewujudkan melalui perencanaan strategis yang komprehensif dan memiliki jiwa besar jika mengalami kegagalan. Merumuskan memang mudah tetapi menemukan orang yang demikian bukanlah hal yang mudah. Maka menurut Hillel jadilah orang yang  bijak “ if not me, who ? if not now, when ?  

* (Penulis adalah Mahasiswa Program Magister  Universitas Tanjungpura-Pontianak )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar