MENGAPA VISI DAN MISI MENJADI JARGON
KOSONG?
Oleh : ASMARA
JUANA SUHARDI, ST., S.IP. )*
Berdasarkan
data Komisi Pemilihan Umum (KPU) 2012, terdapat 49 (empat puluh Sembilan)
kabupaten/kota di 26 (dua puluh enam) Provinsi yang akan menyelenggarakan pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada) dalam waktu dekat ini. Selain
itu, dari 115 (seratus lima belas) kabupaten/kota yang menyelenggarakan Pilkada
tahun 2011, terdapat 3 (tiga) kabupaten/kota yang akan menyelanggarakan Pilkada
putaran ke-2 tahun 2012 ini, yakni Kabupaten Bengkulu Tengah (Prov. Bengkulu),
Kabupaten Maluku Tenggara Barat (Prov.Maluku) dan Kabupaten Jayapura (Prov.
Papua), juga ada 3 (tiga) kabupaten/kota yang berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi 2010 harus menyelenggarakan Pilkada ulang tahun 2012 ini, yaitu
Kabupaten Pati (Jateng), Kabupaten Buton (Sulawesi Tenggara) dan Kabupaten
Kepulauan Yapen (Papua).
Ditambah
lagi dengan 27 (dua puluh tujuh) kabupaten/kota di Provinsi Aceh, Papua dan
Daerah Istimewa Yogyakarta, yang menunda Pilkada (seharus diselenggarakan tahun
2011 lalu). Masing-masing kabupaten/kota tersebut menampilkan minimal 2
(dua) pasangan calon (bagi Pilkada
putaran ke-2), bahkan beberapa pasangan bakal calon bagi daerah yang akan
menyelanggarakan Pilkada dan Pilkada ulang. Semua pasangan calon dan bakal
calon tersebut tentunya menampilkan visi dan misi masing-masing untuk
memenangkan kompetisi. Banyangkan, betapa banyaknya calon ‘jargon-jargon’
kosong yang akan lahir dari visi dan misi tersebut dikemudian hari.
Dilema dan Pengaruh Visi dan Misi.
Menurut
hemat saya ada komentar yang menarik ketika kita memilih pemimpin. Baik
pemimpin nasional, pemimpin daerah maupun pemimpin ditingkat paling bawah
sekalipun, yakni seberapa bagus visi dan misi yang dibawanya untuk membangun
masyarakat, sehingga seringkali dikatakan ketika memilih pemimpin maka lihatlah
visi dan misi yang dibawanya. Sehingga menurut pendapat banyak orang pilihlah
pemimpin yang visioner, sekarang bukan zamannya lagi memilih pemimpin yang
hanya mengandalkan faktor kharismatik seperti yang terjadi pada dekade-dekade
sebelumnya.
Meski
kenyataannya visi dan misi terkadang hanya menjadi jargon kosong untuk
memenangkan suatu kompetisi, baik itu dalam pemilihan umum (Pemilu) maupun
dalam Pilkada atau apapun namanya, karena setelah pesta kompetisi selesai yang
terjadi seringkali visi dan misi dilupakan, entah disimpan atau disembunyikan
di mana. Padahal idealnya visi dan misi yang dibawa itu harus diterjemahkan
secara berkelanjutan dalam bentuk rumusan perencanaan strategi selama masa
kepemimpinannya.
Penetapan
visi dan misi merupakan langkah awal dalam proses perencanaan strategi (strategic planning), karena visi dan
misi memberikan arah, semangat, landasan, komitmen, keyakinan dan tujuan kearah
mana organisasi itu akan dibawa. Dalam kenyataannya banyak perencanaan yang
dibuat tanpa berpatokan pada visi dan
misi yang telah ditetapkan, karena visi dan misi hanya dianggap sebagai suatu
yang tidak mungkin dicapai sehingga seringkali ditinggalkan (atau sengaja
dilupakan).
Maka tidak heran kalau terdapat sejumlah visi
dan misi suatu organisasi baik organisasi swasta maupun birokrasi hanya digantung
didinding seperti prasasti tanpa makna dan lama- lama akan lapuk dimakan waktu.
Hal yang sama terjadi pada rumusan Pancasila dijaman orde baru yang diletakkan
dibawah naungan lambang Nasional kebanggaan kita, Burung Garuda dimana pada
waktu yang sama kolusi, korupsi dan nepotisme pun merajalela.
Artinya
visi dan misi yang telah ditetapkan menjadi tidak efektif karena tidak
memberikan kontribusi apapun dalam proses perencanaan strategis (strategic planning) yang dilakukan.
Dengan kata lain ada gap
(kesenjangan) dalam proses perencanaan strategis yang dilakukan. Pada
kenyataannya gap ini tidak hanya
terjadi pada tahap perumusan visi dan misi dengan rumusan strategis tetapi juga
terjadi pada tahap selanjutnya dalam strategic
planning process.
Secara
umum, strategic planning process dimulai dari perumusan visi dan misi yang
ingin dicapai 5, 10 atau 25 tahun kedepan. Tahap selanjutnya merumuskan tujuan
dan sasaran kemudian strategi untuk dicapai, program yang dilaksanakan dan
diaplikasikan dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam rangka
pencapaian program. Apabila gap
terjadi pada salah satu tahap atau dalam setiap tahap pada perencanaan strategi
tersebut maka dapat dipastikan organisasi apapun akan mengalami kegagalan. Gap ini dapat disebabkan oleh banyak
faktor, diantaranya: perbedaan kepentingan, perencana tidak memahami
keterkaitan antara tiap tahap perencanaan, serta adanya perubahan lingkungan
secara cepat dan drastis.
Mengapa
visi dan misi selalu tidak efektif pada organisasi termasuk organisasi
pemerintah? ada beberapa sebab, yaitu :
Pertama,
karena adanya kerancuan antara pengertian.
Seringkali
visi dan misi dipahami secara terbalik. Secara penulisan memang seolah-olah
visi dirumuskan terlebih dahulu dari misi karena ada faktor kemudahan dalam
penyebutan, namun secara konseptual sesungguhnya misi dirumuskan terlebih
dahulu daripada visi.
Secara ringkas visi adalah apa yang
kita dambakan untuk kita miliki atau kita peroleh dimasa depan (what do we want to have), contohnya
suatu kabupaten membangun dengan visi meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dengan tingkat pencapaian pendapat penduduk perkapita Rp 20.000.000. (dua puluh
juta rupiah) per tahun, misi yang dirumuskan adalah menjadi kabupaten dengan
tingkat pendapatan penduduk perkapita tertinggi di Indonesia. Berdasarkan misi
dan visi tersebut dirumuskan kebijakan strategis, program dan kegiatan yang dilakukan
dengan tetap melihat pencapaian visi dan misi yang diinginkan.
Pada tingkat personal, visi itu
dekat dengan cita-cita (walaupun tidak sekedar cita-cita) dan misi itu dekat
dengan panggilan hidup yaitu mengapa kita ada dan diciptakan. Pada tingkat
organisasional, Peter M. Senge dalam The
Fifth Dicipline memberdayakan visi dan misi sebagai berikut “……visi adalah ‘the what’ yaitu gambaran masa depan
yang ingin kita ciptakan, sedangkan misi adalah ‘ the why’ yaitu alasan mengapa organisasi kita ada dan dibikin in the first place “. Jadi agar lebih efektif dan powerfull maka syarat mutlak sebuah visi dan misi haruslah jelas, harmonis, koheren dan kompatibel.
Kedua,
Visi dan Misi tidak benar-benar didambakan
Hal
ini terjadi ketika merumuskan tidak berpijak pada realitas dan kenyataan
(sejarah kita, jati diri kita, produk kita, kesempatan yang ada, impian yang
ada, persaingan yang ada, dsb). Contoh ketika seorang anak kecil pada musim
piala dunia menginginkan menjadi seperti Ronaldo. Padahal dari segi kemampuan,
bakat, budaya dilingkungannya tidak mendukung keinginan tersebut sehingga dikatakan misi
yang ingin dicapainya terlalu meng ‘awan’ sehingga dalam pencapaiannya pun
adalah suatu hal yang mustahil.
Salah seorang instruktur dalam
DiklatPim III di Pusdiklat RegionalIV Bandung tahun 2009 lalu (kebetulan
penulis merupakan salah satu pesertanya) pernah mengkritisi visi suatu daerah
yang menyebutkan pembangunan berdasarkan ekonomi kerakyatan. Sementara konsep
ekonomi kerakyatan itu sendiri menurutnya masih belum jelas bentuknya seperti
apa karena masih berbentuk wacana yang ditelorkan oleh pencetusnya Adi Sasono
dan konsep itu sendiri belum memberikan gambaran yang jelas seperti apa bentuk
ekonomi kerakyatan yang sesungguhnya.
Menurut saya, ekonomi di dunia ini dikembangkan
berdasarkan tiga landasan ideologi yang mendasarinya yaitu Kapitalis, Komunis
dan Islam. Ekonomi kapitalis pada dasarnya dikembangkan dengan prinsip
bagaimana mencari keuntungan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan sendiri atau golongan dalam bentuk ukuran materi, ekonomi Komunis
dikembangkan berdasarkan prinsip semua harus merasakan benefit dari setiap
kegiatan ekonomi, sedangkan ekonomi Islam lebih merupakan jalan tengah keduanya
karena setiap orang berhak berupaya memenuhi kebutuhan hidupnya namun dalam
setiap benefit yang diperoleh ada hak orang lain didalamnya. Lalu bagaimana
dengan prinsip ekonomi kerakyatan?
Burt Nanus dalam ‘visionary leadership’ mengatakan bahwa
visi harus dimulai dari pemahaman yang benar akan realitas baik internal maupun
eksternal. Dengan bahasa metaphor Tom Peters dalam “ Thriving on Chaos” mengungkapkan begini, “ visi itu berfungsi
sebagai kompas dalam pelayaran yang bergelora penuh badai. Seperti halnya
kompas, visi kehilangan fungsinya jika tidak memperhitungkan keadaan geografi di sekitarnya.
Ketiga,Visi
dan misi tidak mewakili penderitaan dan harapan rakyat
Artinya
visi dan misi harus mampu merefleksikan penderitaan masyakat atau target group-nya. Misalnya jika kita merasa berada di daerah yang jauh
dengan daerah lain dengan fasilitas transportasi yang minim dan ini berdampak
pada aktifitas perekonomian masyarakat secara keseluruhan maka visi yang dirumuskan adalah menjadi
daerah kepulauan dengan alat transportasi terlengkap. Contoh lain adalah misi
yang dirumuskan oleh Soekarno pada zaman penjajahan dulu yaitu “ Indonesia
Merdeka “, dengan visi yang ringkas, padat dan merefleksikan penderitaan
masyarakat Indonesia saat itu maka Soekarno menjadi pemimpin buat semua.
Contoh
lainnya adalah ketika Jhon F Kennedy pada tahun 1961 menggambarkan penderitaan
rakyat Amerika Serikat dalam rumusan misi “
Our goal is to put a man on them moon and back safety to the earth before the end of this decade”. Misi ini merefleksikan penderitaan
rakyat Amerika Serikat yang pada saat itu diakui sebagai “number one“ dalam bidang teknologi dan merupakan pemimpin dunia
tetapi pada saat yang sama dipermalukan oleh Uni Sovyet yang telah berhasil
meluncurkan Sputnik.
Visi dan misi yang merefleksikan
penderitaan dan harapan masyarakat akan menjadi daya penggerak yang paling
besar dalam pembangunan, karena rakyat merasakan bahwa visi dan misi yang
diemban sebagai milik bersama dan untuk bersama. Oleh karena itu jika suatu
daerah merasakan penderitaan terbesar mereka adalah karena tidak adanya
sumberdaya manusia yang berkualitas yang dapat membangun daerahnya maka misi
menjadi daerah dengan sumberdaya manusia yang tangguh merupakan hal yang
penting untuk dirumuskan. Hanya saja sumberdaya manusia yang tangguh sangatlah
kualitatif sehingga perlu dirumuskan dalam bentuk yang lebih jelas sehingga
gambaran dari misi tersebut akan menjadi jelas pula.
Memang menarik ketika harus
merumuskan visi dan misi, karena harus memberikan gambaran tujuan organisasi
tetapi juga harus memberikan dorongan emosional untuk mewujudkannya. Hal ini
didukung oleh pendapat Noel M. Tichy dalam “control
your destiny or someone else will”, disebut ada dua buah elemen
fundamental dalam perumusan visi maupun misi, yaitu :
- Aspek kerangka konseptual paradigmatik dimana fungsi visi dan misi sebagai peta perjalanan di lautan yang belum pernah kita tempuh.
- Daya tarik emosional yang berfungsi sebagai motivator yang menggerakkan daya juang.
Aspek
kedua ini seringkali dilupakan dalam merumuskan visi dan misi suatu daerah. Di sinilah
letak kegagalan utama visi dan misi yaitu tipisnya aspek emosional. Banyak kita
temukan visi dan misi suatu daerah dirumuskan dengan kata-kata yang panjang,
sehingga sulit untuk diingat apalagi untuk diresapi. Oleh karena itu hendaknya
visi dan misi dirumuskan dengan kalimat yang singkat hingga mudah diingat dan
dihayati.
Keempat,Visi dan misi tidak
diyakini dapat dicapai
Menurut saya, inilah yang paling banyak dilakukan oleh
daerah ketika menetapkan visi dan misi. Seringkali visi dan misi dirumuskan
dengan penetapan waktu pencapaian. Misalnya visi “ menjadi “ ………… “ pada
tahun”…..”. Penetapan waktu seperti itu menyebabkan aspek motivasional menjadi
tidak relevan, apalagi dikaitkan dengan masa kepemimpinan kepala daerah selama
5 (lima) tahun, seharusnya visi dan misi selama lima tahun harus pula dibuat,
artinya visi yang dirumuskan untuk jangka waktu 20 tahun direduksi dalam bentuk
visi dan misi selama lima tahun. Sehingga arah pembangunan selama lima tahun lebih terfokus
dan visi maupun misi yang dirumuskan menjadi realistis untuk dicapai. Hal lain
yang menjadi alasan perlunya penetapan visi dan misi selama lima tahun adalah karena setiap terpilihnya
kepala daerah baru selalu diikuti oleh visi dan misi yang baru pula.
Meskipun ada pendapat mengatakan
visi dan misi itu hanya bentuk ideal dan transedental, tetapi pada dasarnya dia
tidak utopis. Artinya visi dan misi haruslah mampu memberikan keyakinan bahkan
dapat menggerakkan iman kita yaitu bahwa apa yang kita perjuangkan adalah
sesuatu yang sangat berharga, bermakna dan patut kita perjuangkan dengan kerja
keras, pengorbanan, bahkan dengan airmata sekalipun.
Menurut
Stephen R. Covey, visi dan misi yang baik mampu menciptakan kesatuan yang
kokoh, menggalang komitmen yang unggul, dan menciptakan kerangka referensi,
kriteria dalam bertindak, standard of
excellence dan pedoman bagi hati dan pikiran orang-orang. Namun jika visi
dan misi itu tidak dapat dipercaya, tidak tertulis di hati, cuma di dinding,
maka visi dan misi itu pada dasarnya cuma prasasti mati yang tidak bernilai
guna.
Ada tiga hal agar visi
dan misi daerah itu menjadi suatu daya penggerak bagi setiap komponen
masyarakat, yaitu :
- Visi dan misi harus selaras dan sepadan dengan sistem nilai masyarakat di daerah tersebut (shared core values). Misalnya jika karakteristik daerah ‘X’ adalah budaya melayu dengan nilai-nilai agamis yang kuat, maka visi dan misi yang dibuat hendaknya diselaraskan dengan budaya tersebut.
- Adanya komitmen pimpinan daerah untuk melaksanakan/mewujudkannya.
- Visi dan misi itu dikomunikasikan kepada seluruh aparatur pemerintah dan masyarakat sehingga menjadi penggerak utama bagi pembangunan di daerah
Melalui
tiga hal di atas maka visi dan misi tidak hanya sekedar konsep yang tertata
rapi di dokumen rencana strategis Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, yang
mungkin hanya diketahui oleh segelintir orang dan itu pun tanpa makna dan tak
berarti apa-apa.
Kelima, Visi dan misi tidak
fleksibel
Visi dan misi bukan rangkaian
kata-kata baku
yang tidak dapat diubah seperti halnya kitab suci. Visi dan misi bersifat
dinamis tanpa kehilangan esensi ideal dan transendentalnya. Maka perumusannya
pun harus up to date dan
menggambarkan kemajuan kita menuju visi dan misi itu sendiri. Menarik untuk
dikutip perkataan Mantan Jaksa Agung Amerika Serikat, Oliver Wendell Holmes, “yang
utama bukanlah soal dimana kita berada, tapi soal arah mana yang kita tuju.
Untuk mencapai pelabuhan, kadang-kadang kita harus melawan angin, yang penting
kita harus terus berlayar, jangan hanyut atau sandar bersama sauh”.
Oleh karena itu visi dan misi bisa
saja diubah sesuai dengan perkembangan yang ada. Demikian pula dengan visi dan
misi daerah. Namun demikian dengan perumusan visi dan misi yang idealnya selama
lima tahun sesuai dengan masa kepemimpinan kepala daerah, maka selayaknya tidak
berubah, karena diperkirakan selama lima tahun tidak terjadi perubahan yang
fundamental, kecuali bila terjadi bencana alam seperti yang terjadi di Aceh dan
Nias yang merubah struktur fisik dan struktur masyarakat secara keseluruhan.
Keenam,
Visi dan misi tidak didukung oleh strategi dan system manajemen yang tepat
Visi
dan misi yang baik selalu tidak didukung oleh strategi pencapaian dan sistem
manajemen yang ada. Misalnya: misi seorang pemimpin yang menginginkan setiap karyawan
memiliki integritas dan kemampuan pengetahuan serta wawasan yang excellence. Tetapi hal ini tidak
didukung dengan manajemen yang tepat misalnya tidak dibuat perencanaan
pelatihan yang berkelanjutan sehingga pemimpin itu hanya akan menjadi cemooh dan
tertawaan karyawannya.
Perlu dipahami, bahwa pemimpin
adalah kreator visi dan misi. Inilah
tugas terberat seorang pemimpin serta ujian sesungguhnya bagi kepemimpinannya.
Namun itu baru separuh menjadi realitas,
membuat impian menjadi kenyataan. Sehingga
seorang Presiden harus memiliki
visi dan misi dalam masa kepemimpinannya, begitu pula Gubernur, Bupati, Camat,
Lurah, bahkan Kepala Desa sekalipun.
Menurut
saya, pemimpin dizaman reformasi ini harus mampu merumuskan realita secara
akurat, memilih dan mengartikulasikan visi dan misi baru secara tepat serta mampu
menjawab penderitaan dan harapan rakyat dewasa ini, berusaha mewujudkan melalui
perencanaan strategis yang komprehensif dan memiliki jiwa besar jika mengalami
kegagalan. Merumuskan memang mudah tetapi menemukan orang yang demikian
bukanlah hal yang mudah. Maka menurut Hillel jadilah orang yang bijak “ if
not me, who ? if not now, when ?
* (Penulis adalah Mahasiswa Program Magister Universitas Tanjungpura-Pontianak )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar