KEBANGKITAN
GENERASI IMITASI
Oleh
: ASMARA
JUANA SUHARDI, ST.,S.IP)*
Kopi Annan (Sejen PBB dekade 1997-2006), dalam
pidatonya tentang UNESCO di New York (2002), menekankan bahwa sumber utama
kemiskinan di dunia ini, sesungguhnya disebabkan oleh faktor ‘ketidak-terdidikan’
manusia. Kata Annan, Suatu bangsa yang tidak menomor-satukan
aspek pendidikan secara benar, sama dengan menghantarkan rakyatnya menuju
jurang kehancuran dan sulit untuk bangkit dari
status sebagai bangsa terbelakang.
Jauh
sebelum Annan mengungkapkan pernyataan tersebut, Raden Mas Soewardi
Soerjaningrat atau lebih dikenal dengan Ki Hajar Dewantara (2 Mei 1889 - 26 April 1959) telah menanamkan
tekat membangun bangsa melalui aspek pendidikan. Sejak zaman kolonial Belanda,
Ki Hajar Dewantara telah berjuang agar semua
masyarakat tanpa terkecuali dapat mengenyam pendidikan demi meningkatkan
martabat bangsa.
Meski
Beliau bebas mengenyam pendidikan (karena berasal dari keluarga priyayi atau
bangsawan Yogyakarta) namun Beliau menolak kebijakan pemerintah Belanda bahwa yang diizinkan sekolah
hanyalah kaum bangsawan dan keluarga Belanda saja. Sebagai pelopor pendidikan
bagi kaum pribumi, (yang kemudian mendirikan Perguruan Taman Siswa) Beliau
menekankan pendidikan dengan pola ‘asih, asih dan asuh’ yang mendayagunakan
budi pekerti, karakter, intelektual, jasmani dan kekuatan batin.
Sehingga
Presiden Soekarno, melalui surat keputusan Presiden RI nomor : 305 Tahun 1959,
tanggal 28 November 1959 menganugrahi gelar pahlawan nasional bagi aktivis
pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi dan pelopor pendidikan
tersebut. Dengan surat keputusan itu pula, tanggal lahir Beliau ditetapkan sebagai Hari
Pendidikan Nasional (Hardiknas).
Sampai
detik ini pendidikan masih dipandang sebagai satu-satunya cara seseorang untuk
mempersiapkan diri menghadapi masa depan. Menurut Leo Sutrisno, bahwa
pendidikan melalui praktek dan pembiasaan diri dalam lingkungan tertentu akan
menentukan hasil keterampilan seseorang/sekelompok orang (habitus), yang kelak akan
menjadi kemamupuan ilmiah dan berkembang
di dalam lingkungan sosial tertentu.
Sehingga
tidak dipungkiri bahwa melalui pendidikan akan sangat menentukan keberhasilan
seseorang, keberhasilan sekelompok orang bahkan keberhasilan suatu bangsa.
Apalagi mengingat fungsinya sebagai mana digariskan Pasal 3, Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) 2003, bahwa pendidikan berfungsi untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat.
Fungsi
tersebut terkesan bertentangan bahkan ternoda oleh fenomena merebaknya peristiwa kekerasan,
kejahatan, korupsi, nopotis dan kecurangan-kecurangan lainnya dewasa ini. Apalagi pelakunya sungguh beragam, baik dari
sisi umur, pendidikan, etnis, agama, strata sosial, strata ekonomi dan
lain-lain. Sehingga tidak dapat disalahkan apabila sejumlah orang berpendapat
bahwa kejahatan telah “membudaya” di negeri yang kita cintai ini.
Bangkitnya
Generasi Emas
Alhamdullilah,
fenomena ini ditangkap oleh Kemendikbud RI, sehingga dalam peringataan
Hardiknas tahun 2012 yang lalu, ditetapkan tema menarik dan indah yaitu ‘Bangkitnya
Generasi Emas Indonesia’. Mudah-mudahan kalimat hiperbolis ini dapat memotivasi
dunia pendidikan kita, yang dewasa ini banyak dinodai oleh
fenomena-fenomena di atas, yang nota bene merupakan output dan outcome dunia
pendidikian kita. Maka suka tidak suka, pemangku kebijakan dalam dunia
pendidikan harus lebih lebar membuka mata dan menganalisa kondisi tersebut
dengan pikiran jernih, logis dan sistematis.
Generasi
emas yang menjadi kata kunci peringatan Hardiknas tahun ini, dimaknai sebagai
generasi yang bermartabat, berahlak mulia, memiliki integritas dan terpercaya.
Selain itu juga dimaknai sebagai generasi yang beradab dan memiliki berbagai
kecerdasan serta kompetensi. Semua makna tersebut berorientasi untuk
menghasilkan generasi muda yang tangguh dan berkepribadian kuat. Menurut Thomas Licona dan para pakar
pendidikan karakter lainnya bahwa kehancuran sebuah bangsa akan dimulai dari
kehancuran generasi mudanya.
Sehingga
tema bangkitnya generasi emas Indonesia hendaknya diartikulasikan sebagai
sebuah keinginan membangun dan memperkokoh kesadaran bangsa akan pentingnya
pendidikan bagi peradaban dan daya saing bangsa. Dalam hal ini kebangkitan
merupakan sebuah proses (bukan kejadian atau peristiwa), karena tidak semua
kejadian akan membawa dampak kemajuan atau kebangkitan, melainkan hanya sebagai
kesibukan yang tidak bermanfaat. Kebangkitan selalu dimulai dari pikiran dan
sikap individu, yang kemudian membawa dampak pada perubahan institusi dan
bangsa.
Arnold
Toybee berpendapat bahwa kebangkitan sebuah bangsa tergantung pada kemampuannya
yang secara tepat menanggapi permasalahan dan tantangan yang dihadapi. Artinya,
jika menginginkan sebuah bangsa bangkit dari keterpurukan, maka harus diambil
sebuah keputusan yang tepat sesuai permasalahan/tantangan yang dihadapinya. Keputusan
atau kebijakan tersebut harus merespons kepentingan berbagai komponen strata
dalam masyarakat dan tidak boleh menjadi penopang kepentingan politik penguasa
belaka.
Selain
kecerdasan merespons masalah dan tantangan yang dihadapi, kebangkitan generasi
emas Indonesia menurut Aswandi, harus memperhatikan 3 (tiga) dimensi perubahan/kebangkitan,
antara lain: (1) kebangkitan manusia karena didasarkan pada komitment atau niat
baik, (2) kebangkitan umat manusia memerlukan modivikasi lingkungannya, baik
lingkungan fisik maupun lingkungan sosial, (3) karena kebangkitan manusia dilakukan
secara terencana, maka monitoring dan evaluasi terhadap setiap fase sangat diperlukan.
Kebangkitan
Generasi Imitasi
Melalui
tema Hardiknas 2012 itu, hendaknya
pemangku kebijakan dunia pendidikan di Indonesia segera merevitalisasi hakekat
pendidikan itu sendiri yaitu dengan mengembalikan pada pemahaman bahwa
pendidikan merupakan cara terbaik untuk menjadikan manusia Indonesia yang
sesuai tujuan Undang-undang Sisdiknas. Sehingga Generasi Emas yang
dicita-citakan tidak menjadi jargon kosong dan justru melahirkan “Generasi Emas
Imitasi”.
Mengapa
generasi imitasi atau generasi yang penuh kepalsuan, kebohongan, kecurangan dan
sejenisnya itu menjadi potensi yang menakutkan? bahkan tidak tertutup kemungkinan akan menjadi potensi yang dapat
menghancurkan harga diri bangsa? Jawabnya, tidak lain adalah karena kepentingan
sesaat. Sehingga sering diberitakan bahwa tidak sedikit pengelola lembaga pendidikan,
baik negeri maupun swasta di berbagai jenjang melakukan praktek pendidikan ‘instant’
(cepat saji) bahkan ada yang melakukan praktek jual beli gelar/ijazah.
Disatu
sisi pengguna jasa membutuhkan ijazah dengan jenjang pendidikan tertentu untuk
berbagai keperluan, seperti untuk melamar pekerjaan, untuk mendapatkan
jabatan/kedudukan, untuk menyesuaikan pangkat/golongan (bagi PNS), untuk
sertifikasi mutu, untuk status sosial, publisitas dan lain-lain. Disisi lain
banyak oknum pengelola lembaga pendidikan yang menjual jasa atau fasilitas yang
nota bene ‘mempermudah dan membantu’
tersebut. Sehingga lahirlah “Generasi Imitasi” yang kualitasnya memprihatinkan
sekaligus menjatuhkan martabat bangsa.
Sedih
rasanya menyaksikan berita tentang pejabat disangsikan keaslian ijazahnya,
anggota dewan dipersoalkan keabsahan ijazahnya, pegawai ditolak usulan
penyesuaian pangkat/golongannya karena mengajukan dengan ijazah yang
disangsikan dan lain-lain. Selain itu, sering terdengar keluhan masyarakat
pengguna jasa tentang rendahnya kualitas dan kemampuan pemerintah di berbagai
institusi baik daerah maupun pusat dalam memberikan pelayanan.
Fenomena
tersebut terjadi selain akibat dari pendidikan instant dan praktek jual-beli
ijazah, juga tidak terlepas dari sistem pendidikan yang memaksakan diri agar
peserta didik mencapai kompetensi tertentu, sehingga tidak optimal dalam proses
pembelajarannya. Contohnya, untuk dapat sertifikasi, seorang guru harus
memiliki ijazah sarjana (S-1), sehingga para guru berbondong-bondong menempuh
pendidikan di lembaga pendidikan yang difasilitasi pemerintah dengan cara yang
kadang-kadang berada dijalur ‘instant’ dengan pertemuan yang terbatas.
Begitu juga
bagi lembaga Kepolisian RI, TNI dan Pemerintah daerah yang selalu
memberikan kesempatan bagi anggota atau pegawainya untuk ‘terpaksa’ menempuh
cara-cara curang demi mengejar kompetensi yang dituntut lembaganya. Sehingga
tidak heran setelah lulus, pengetahuan yang diperolehnya hanya beda tipis
dengan pengetahuan yang diperoleh pada jenjang pendidikan sebelumnya.
Akibatnya atau outcome-nya bagi guru, kemampuan mengajarnya sama saja seperti
sebelum memperoleh ijazah S-1 dulu. Fenomena tersebut juga terjadi di berbagai
institisi/lembaga pemerintah, terutama pada pemerintah kabupaten/kota, banyak
Sarjana bahkan Master/Magister yang kemampuannya beda tipis dengan kemampuan
pegawai lulusan SLTA bahkan SLTP sederajat.
Format
tugas belajar bagi PNS, Polri, TNI dan lain-lain yang nota bene sebagai salah
satu wahana pengkaderan pun banyak yang mengalami pergeseran makna. Artinya,
tugas belajar dan izin belajar yang idealnya untuk meningkatkan kemampuan,
keahlian dan wawasan itu telah terkontaminasi oleh kepentingan politik rezim penguasa.
Buktinya beberapa institusi pemerintah daerah
mengirim peserta tugas belajar ke berbagai perguruan tinggi di Indonesia, tidak
lagi melalui jalur penjaringan yang sesungguhnya, namun cukup dengan sebuah
memo dari atasan. Dampaknya, dapat dipastikan tidak akan tercapai tujuan
pembentukan atau pengkaderan sumber daya manusia yang sesungguhnya.
*(Penulis
adalah Mahasiswa Program Magister Universitas
Tanjungpura-Pontianak)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar