Rabu, 02 Mei 2012

Artikel : Kebangkitan Generasi Imitasi


KEBANGKITAN GENERASI IMITASI

Oleh : ASMARA JUANA SUHARDI, ST.,S.IP)*

 Kopi Annan (Sejen PBB dekade 1997-2006), dalam pidatonya tentang UNESCO di New York (2002), menekankan bahwa sumber utama kemiskinan di dunia ini, sesungguhnya disebabkan oleh faktor ‘ketidak-terdidikan’ manusia.  Kata  Annan, Suatu bangsa yang tidak menomor-satukan aspek pendidikan secara benar, sama dengan menghantarkan rakyatnya menuju jurang kehancuran dan sulit untuk bangkit dari  status sebagai bangsa terbelakang.
Jauh sebelum Annan mengungkapkan pernyataan tersebut, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal dengan Ki Hajar Dewantara   (2 Mei 1889 - 26 April 1959) telah menanamkan tekat membangun bangsa melalui aspek pendidikan. Sejak zaman kolonial Belanda, Ki Hajar Dewantara telah berjuang agar semua  masyarakat tanpa terkecuali dapat mengenyam pendidikan demi meningkatkan martabat bangsa.
Meski Beliau bebas mengenyam pendidikan (karena berasal dari keluarga priyayi atau bangsawan Yogyakarta) namun Beliau menolak kebijakan  pemerintah Belanda bahwa yang diizinkan sekolah hanyalah kaum bangsawan dan keluarga Belanda saja. Sebagai pelopor pendidikan bagi kaum pribumi, (yang kemudian mendirikan Perguruan Taman Siswa) Beliau menekankan pendidikan dengan pola ‘asih, asih dan asuh’ yang mendayagunakan budi pekerti, karakter, intelektual, jasmani dan kekuatan batin.
Sehingga Presiden Soekarno, melalui surat keputusan Presiden RI nomor : 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959 menganugrahi gelar pahlawan nasional bagi aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi dan pelopor pendidikan tersebut. Dengan surat keputusan itu pula, tanggal  lahir Beliau ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).
Sampai detik ini pendidikan masih dipandang sebagai satu-satunya cara seseorang untuk mempersiapkan diri menghadapi masa depan. Menurut Leo Sutrisno, bahwa pendidikan melalui praktek dan pembiasaan diri dalam lingkungan tertentu akan menentukan hasil keterampilan seseorang/sekelompok orang (habitus), yang kelak akan menjadi  kemamupuan ilmiah dan berkembang di dalam lingkungan sosial tertentu.
Sehingga tidak dipungkiri bahwa melalui pendidikan akan sangat menentukan keberhasilan seseorang, keberhasilan sekelompok orang bahkan keberhasilan suatu bangsa. Apalagi mengingat fungsinya sebagai mana digariskan Pasal 3, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) 2003, bahwa pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
Fungsi tersebut terkesan bertentangan bahkan ternoda  oleh fenomena merebaknya peristiwa kekerasan, kejahatan, korupsi, nopotis dan kecurangan-kecurangan lainnya dewasa ini.   Apalagi pelakunya sungguh beragam, baik dari sisi umur, pendidikan, etnis, agama, strata sosial, strata ekonomi dan lain-lain. Sehingga tidak dapat disalahkan apabila sejumlah orang berpendapat bahwa kejahatan telah “membudaya” di negeri yang kita cintai ini.
Bangkitnya Generasi Emas
Alhamdullilah, fenomena ini ditangkap oleh Kemendikbud RI, sehingga dalam peringataan Hardiknas tahun 2012 yang lalu, ditetapkan tema menarik dan indah yaitu ‘Bangkitnya Generasi Emas Indonesia’. Mudah-mudahan kalimat hiperbolis ini dapat memotivasi dunia pendidikan kita, yang dewasa ini banyak dinodai oleh fenomena-fenomena  di atas, yang nota bene merupakan output dan outcome dunia pendidikian kita. Maka suka tidak suka, pemangku kebijakan dalam dunia pendidikan harus lebih lebar membuka mata dan menganalisa kondisi tersebut dengan pikiran jernih, logis dan sistematis.
Generasi emas yang menjadi kata kunci peringatan Hardiknas tahun ini, dimaknai sebagai generasi yang bermartabat, berahlak mulia, memiliki integritas dan terpercaya. Selain itu juga dimaknai sebagai generasi yang beradab dan memiliki berbagai kecerdasan serta kompetensi. Semua makna tersebut berorientasi untuk menghasilkan generasi muda yang tangguh dan berkepribadian kuat.  Menurut Thomas Licona dan para pakar pendidikan karakter lainnya bahwa kehancuran sebuah bangsa akan dimulai dari kehancuran generasi mudanya.
Sehingga tema bangkitnya generasi emas Indonesia hendaknya diartikulasikan sebagai sebuah keinginan membangun dan memperkokoh kesadaran bangsa akan pentingnya pendidikan bagi peradaban dan daya saing bangsa. Dalam hal ini kebangkitan merupakan sebuah proses (bukan kejadian atau peristiwa), karena tidak semua kejadian akan membawa dampak kemajuan atau kebangkitan, melainkan hanya sebagai kesibukan yang tidak bermanfaat. Kebangkitan selalu dimulai dari pikiran dan sikap individu, yang kemudian membawa dampak pada perubahan institusi dan bangsa.
Arnold Toybee berpendapat bahwa kebangkitan sebuah bangsa tergantung pada kemampuannya yang secara tepat menanggapi permasalahan dan tantangan yang dihadapi. Artinya, jika menginginkan sebuah bangsa bangkit dari keterpurukan, maka harus diambil sebuah keputusan yang tepat sesuai permasalahan/tantangan yang dihadapinya. Keputusan atau kebijakan tersebut harus merespons kepentingan berbagai komponen strata dalam masyarakat dan tidak boleh menjadi penopang kepentingan politik penguasa belaka.
Selain kecerdasan merespons masalah dan tantangan yang dihadapi, kebangkitan generasi emas Indonesia menurut Aswandi, harus memperhatikan 3 (tiga) dimensi perubahan/kebangkitan, antara lain: (1) kebangkitan manusia karena didasarkan pada komitment atau niat baik, (2) kebangkitan umat manusia memerlukan modivikasi lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial, (3) karena kebangkitan manusia dilakukan secara terencana, maka monitoring dan evaluasi terhadap setiap fase sangat diperlukan.
Kebangkitan Generasi Imitasi
Melalui tema  Hardiknas 2012 itu, hendaknya pemangku kebijakan dunia pendidikan di Indonesia segera merevitalisasi hakekat pendidikan itu sendiri yaitu dengan mengembalikan pada pemahaman bahwa pendidikan merupakan cara terbaik untuk menjadikan manusia Indonesia yang sesuai tujuan Undang-undang Sisdiknas. Sehingga Generasi Emas yang dicita-citakan tidak menjadi jargon kosong dan justru melahirkan “Generasi Emas Imitasi”.
Mengapa generasi imitasi atau generasi yang penuh kepalsuan, kebohongan, kecurangan dan sejenisnya itu menjadi potensi yang menakutkan? bahkan tidak tertutup  kemungkinan akan menjadi potensi yang dapat menghancurkan harga diri bangsa? Jawabnya, tidak lain adalah karena kepentingan sesaat. Sehingga sering diberitakan bahwa tidak sedikit pengelola lembaga pendidikan, baik negeri maupun swasta di berbagai jenjang melakukan praktek pendidikan ‘instant’ (cepat saji) bahkan ada yang melakukan praktek jual beli gelar/ijazah.
Disatu sisi pengguna jasa membutuhkan ijazah dengan jenjang pendidikan tertentu untuk berbagai keperluan, seperti untuk melamar pekerjaan, untuk mendapatkan jabatan/kedudukan, untuk menyesuaikan pangkat/golongan (bagi PNS), untuk sertifikasi mutu, untuk status sosial, publisitas dan lain-lain. Disisi lain banyak oknum pengelola lembaga pendidikan yang menjual jasa atau fasilitas yang nota bene ‘mempermudah dan membantu’ tersebut. Sehingga lahirlah “Generasi Imitasi” yang kualitasnya memprihatinkan sekaligus  menjatuhkan martabat bangsa.
Sedih rasanya menyaksikan berita tentang pejabat disangsikan keaslian ijazahnya, anggota dewan dipersoalkan keabsahan ijazahnya, pegawai ditolak usulan penyesuaian pangkat/golongannya karena mengajukan dengan ijazah yang disangsikan dan lain-lain. Selain itu, sering terdengar keluhan masyarakat pengguna jasa tentang rendahnya kualitas dan kemampuan pemerintah di berbagai institusi baik daerah maupun pusat dalam memberikan pelayanan.
Fenomena tersebut terjadi selain akibat dari pendidikan instant dan praktek jual-beli ijazah, juga tidak terlepas dari sistem pendidikan yang memaksakan diri agar peserta didik mencapai kompetensi tertentu, sehingga tidak optimal dalam proses pembelajarannya. Contohnya, untuk dapat sertifikasi, seorang guru harus memiliki ijazah sarjana (S-1), sehingga para guru berbondong-bondong menempuh pendidikan di lembaga pendidikan yang difasilitasi pemerintah dengan cara yang kadang-kadang berada dijalur ‘instant’ dengan pertemuan yang terbatas.
 Begitu juga  bagi lembaga Kepolisian RI, TNI dan Pemerintah daerah yang selalu memberikan kesempatan bagi anggota atau pegawainya untuk ‘terpaksa’ menempuh cara-cara curang demi mengejar kompetensi yang dituntut lembaganya. Sehingga tidak heran setelah lulus, pengetahuan yang diperolehnya hanya beda tipis dengan pengetahuan yang diperoleh pada jenjang pendidikan sebelumnya.
 Akibatnya atau outcome-nya bagi guru, kemampuan mengajarnya sama saja seperti sebelum memperoleh ijazah S-1 dulu. Fenomena tersebut juga terjadi di berbagai institisi/lembaga pemerintah, terutama pada pemerintah kabupaten/kota, banyak Sarjana bahkan Master/Magister yang kemampuannya beda tipis dengan kemampuan pegawai lulusan SLTA bahkan SLTP sederajat.
Format tugas belajar bagi PNS, Polri, TNI dan lain-lain yang nota bene sebagai salah satu wahana pengkaderan pun banyak yang mengalami pergeseran makna. Artinya, tugas belajar dan izin belajar yang idealnya untuk meningkatkan kemampuan, keahlian dan wawasan itu telah terkontaminasi oleh kepentingan politik rezim penguasa.
 Buktinya beberapa institusi pemerintah daerah mengirim peserta tugas belajar ke berbagai perguruan tinggi di Indonesia, tidak lagi melalui jalur penjaringan yang sesungguhnya, namun cukup dengan sebuah memo dari atasan. Dampaknya, dapat dipastikan tidak akan tercapai tujuan pembentukan atau pengkaderan sumber daya manusia yang sesungguhnya. 
*(Penulis adalah Mahasiswa Program Magister  Universitas Tanjungpura-Pontianak)


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar